Cuci Tangan


Ini kebiasaan yang wajib dilakukan semasa pandemi ini. Konon, manfaatnya dinilai sangat besar sebagai salah satu cara mencegah penularan. Bahkan, gara-gara anjuran cuci tangan, semasa belum jadi pandemi, sabun dan cairan cuci tangan raib dari etalase toko dan supermarket. Bahkan, di kawasan Lombok, ketika itu, melihat iklannya saja susah. Apalagi barangnya.
.
Cuci tangan juga jadi tema komunikasi pemerintah. Imbauan itu jadi pengisi ruang media. Di tengah dua sampai lima kali lipat berita soal ganasnya penularan Covid-19. Sama seperti sebelumnya, boleh dikata gema komunikasi pemerintah hanya di ruang tersendiri. Sementara, dominan masyarakat ada di ruang gema lain.
.
Dulu, mungkin jadi suatu hal yang tak mungkin terjadi. Ketika media jadi corong penguasa, informasi jadi bisa terkendali. Kini, sudah bergeser. Kendali informasi bukan lagi di hulu. Karena setiap orang bisa memproduksi dan mereproduksi informasi. Konon, literasi jadi kunci: sebuah tindakan yang hanya menyerahkan pada pilihan masing-masing. Meski, dalam literasi ada metode dan etika, tapi pada akhirnya jadi pilihan pribadi.
.
Tapi manusia adalah mahluk simbolik. Blumer menilai setiap manusia bisa saling menafsirkan atau membatasi masing-masing tindakan mereka. Bukan hanya sekadar saling bereaksi kepada setiap tindakan. Seseorang tidak langsung memberi respon pada tindakan orang lain, tetapi didasari oleh pengertian yang diberikan pada tindakan itu. Bisa jadi, simbol yang disampaikan dalam komunikasi jika tidak untuk kepentingan target sasaran, maka dapat dipastikan adalah cermin diri sendiri. Jika pesan pertama yang disampaikan adalah cuci tangan, semoga saja tidak ada niatan “cuci tangan” betulan.
.
Depok 260420

Gambar billboard.com

Tinggalkan komentar